MASIGNASUKAv102
6510051498749449419

Perempuan Pergerakan

Perempuan Pergerakan
Add Comments
Kamis, 26 November 2020

 Perempuan Pergerakan


Aisyah... 

Nama terbaik yang di sematkan oleh ayah dan ibu ketika kelahiranku tiba. Cita-cita seorang dokter adalah impian besarku. Tetapi, ketika tumbuh besar sebuah harap memakai jas putih perlahan menghilang. Ketika menjadi gadis putih abu-abu, inginku menjadi seorang presiden seperti Isabela Peron. Dia dinobatkan sebagai presiden perempuan pertama Argentina sekaligus dunia.

Lambat laun, semua berubah silih bergantinya waktu. Semua cita, harapan, terenggut ketika hari bahagia datang. Hari wisudaku. Belajar yang dulu setiap malam menjadi semangat bersama pijaran lilin. Kini, nihil. Hanya ada sedikit rasa, keputusasaan. Selebihnya Ke-Ma-Ti-An.

" Kakek tidak pernah setuju, kalau kamu kuliah!". Itulah kakekku yang kental dengan budaya patriarkinya yang sudah melekat oleh sebagaian kalangan termasuk masyakat Jawa. Sampai-sampai beranggapan bahwa tugas perempuan hanya  memasak di dapur, berdandan cantik untuk suaminya, dan menjadi ladang percetakkan anak. Apakah perempuan hanya sebagai budak?

" Kenapa tidak boleh, kek? " tanyaku memberanikan diri meski gemetar dan keringat dingin mulai bercucuran. 

" Kamu cukup belajar memasak dan berdandan. Sudah cukup sampai menengah saja. Dulu, ibumu juga hanya lulusan sekolah dasar. Ketika sudah di pingit tugase cah wedok ya nang pawon" kekeh dengan pendirian awal menggunakan dialek jawanya. Pria berumur tujuh puluh tahunan itu bangkit dari ruangan yang sudah membuatnya memijat pelipisnya. Melihat salah satu cucunya memberontak dengan segala hukum ideologinya.

Aku hanya memandangnya dengan sakit yang menyayat. Mengapa harus lahir dari keturunan tulen jawa yang masih erat dengan budaya patriarkis? Mengapa harus lahir sebagai perempuan? Sedangkan Kak Aditya di berikan banyak kelonggaran untuk mencapai gelar doktor. Aku hanya meminta gelar sarjana, tidak lebih. Ayah dan ibu juga 'manutan' selalu saja mengiyakan dengan keputusan kakek. Dia sepupuku,  anak Pakdhe Andi, kakak ayahku. Cucu laki-laki kesayangan kakek. 

Aku mulai mencari cara untuk mendapatkan impianku. Aku ingin memutasi sebuah ideologi yang kakek anut. Perempuan bukan budak tetapi manusia yang memiliki hak yang sama. Menjadi seorang pemimpin dengan versinya masing-masing. Aku ingin masyarakat berani.  Aku ingin perempuan memberontak bukan untuk melawan tetapi untuk keadilan perempuan. Lelah bukan? Hidup hanya penuh bayangan, penuh pemaksaan, dan hanya sebagai manusia yang bungkam. 

Aku memutuskan untuk berkompromi dengan ibu. Ibu adalah satu-satunya orang yang bisa membantu visiku untuk mencapai segalanya. Aku akan membentuk sebuah siasat besar untuk menunjukkan bahwa persepsi kakek keliru.


***

"Pergilah nak, jika menurutmu keputusan itu benar. Do'a ibu menyertaimu". Setelah panjang lebar mengatakan semuanya,  ibu setuju. Ibu mengantarkanku ke stasiun untuk menuju Kota Semarang. 

" Jaga dirimu baik-baik. Jangan menghubungi ibu, biar ibu yang menghubungimu". Beliau memelukku dengan erat. Sebelum masuk ke gerbong kereta, ibu memberikan amplop untuk kehidupanku di sana. 

Hanya itu yang ibu bisa lakukan nak. Semoga Tuhan memberimu jalan untuk mengangkat harkat martabat perempuan, batin perempuan paruh baya. Meski entah apa yang ia dapatkan dari mertuanya. Biarlah, ia yang memperjuangan anaknya untuk membuka pola pikir kaum wanita.


***

Plak..plak...plak

Tamparan itu begitu keras, membuat menantunya jatuh. Tongkat yang biasanya untuk membantu berjalan kini melayang ke tubuh perempuan yang sudah melanggar aturannya. 

" Sudah ku bilang, jangan. Tetapi, kau... "geramnya sembari menunjuknya dengan jari telunjuk. Berapa banyak luka yang melekat di tubuhnya. Warna tubuhnya sudah merah membiru. Pria di sampingnya hanya terdiam melihat istrinya di perlakukan sebagai budak oleh tuannya. Seolah ia sedang menonton pertunjukkan tindak kekerasan yang di perankan oleh ayahnya sendiri dan istrinya.

Lelucon macam apa ini?  Tindak yang tidak beretika. Katanya berbudaya, tetapi diskriminasi nampak jelas terlihat. Budaya macam apa ini? Masyarakat menyebutnya hukum? Hukum yang melakukan penindasan pada perempuan. Seolah perempuan harus tunduk dan penurut. Tampil lemah lembut dan tidak banyak bicara. Sudah saatnya perempuan berperan dan bergerak. Sudah saatnya perempuan di hargai tanpa diskriminasi.


***

Kesukaanku yang jarang orang tahu, menulis. Bagiku, menulis adalah cara terbaik untuk merefleksikan diri. Entah  sedang marah atau sedih, selalu saja menjadi ajang untuk mendamaikan diri. Karna bagiku, semua orang punya caranya sendiri untuk mencintai diri sendiri. Inilah aku, Aisyah Sofia Rianti, gadis yang ingin memperjuangkan perempuan dengan menulis. 

Kini aku sudah semester delapan. Mengambil jurusan sastra untuk mengasah kemampuanku. Mengikuti organisasi untuk menggali skill ku. Aku belajar menjadi seorang pemimpin, berlatih public speaking , semua ku dapatkan di organisasi. Aku ingin menjadi penulis yang menyuarakan hati perempuan untuk merdeka, itulah mengapa aku mengambil sastra. 

" Ais, selamat atas sidang terbaikmu" membalas pelukan sahabatku, Amanda. Hari ini, aku memang melakukan sidang skripsi. Selama itu pula aku tidak memberi kabar keluargaku kecuali ibu.

Aku tahu kakek akan bertindak kejam dengan  segala wewenangnya. Menyiksa ibu tanpa ampun. Bahkan ketika aku sering berkomunikasi dengan ibu. Kadang ibu merintih, suara tangis yang tertahan. Ingin aku pulang dan melepaskan penjaranya. Tetapi, ibu menolaknya. Ibu mencegahku untuk pulang, " Lakukan setengah perjalananmu. Biarlah ibu yang menanggungnya". Perkataan itu yang membuatku terus berjuang sampai saat ini.


***

"Assalamualaikum" 

Aku memutuskan untuk pulang di hari wisudaku. Setelah prosesi wisuda, aku pulang tanpa mengganti pakaianku. Biarkan kakek tahu semuanya. Sudah saatnya. 

" Dasar anak tidak tahu diri" kakek menamparku berkali-kali. 

" Sudah berani memperlihat wajahmu di depanku?" tatapan tajamnya mulai mengintimidasi setiap inci pergerakanku. 

" Kakek akan menamparku lagi? Tampar kek, tampar. Jika itu membuatmu berhenti marah. Luapkan segala emosimu. Apa kakek tahu? Begitu tersiksanya jiwa seorang perempuan ketika hanya di anggap burung yang harus setia dengan sangkarnya"

" Sudah berani menjadi pembangkang? Setelah pergi. Etikamu begitu kurang ajar" suaranya begitu menggelegar. 

" Aku bukan pembangkang, kek. Aku hanya ingin kakek tahu, jika pemahaman kakek keliru. Perempuan memang memiliki tugas memasak, melayani suaminya dengan segala jenis pekerjaan rumah. Tetapi, perempuan juga berhak untuk mencapai keinginannya selagi dia tidak melepas kodratnya". Aku berusaha setenang mungkin untuk berbicara dengannya. Jika aku mengeras dan emosi maka semua akam sama saja. Aku harus bisa meluluhkan hati kakek.

Selama satu bulan aku berusaha membujuk kakek. Aku berusaha menjadi perempuan keinginan kakek tetapi tetap pada prinsipku. Setelah kakek luluh, aku ingin mengajaknya berdiskusi bersama. Memberikan pemahaman tentang perempuan dan arah geraknya di era saat ini. Hati itu seperti batu, jika perlahan di tetesi air hujan maka akan rapuh dengan sendirinya. Hati jika di sentuh akan melembut dengan sendirinya. Begitu pun kakek. Bahkan kakek menyuruhku melanjutkan S2. Dan kakek menyuruhku membuka rumah belajar perempuan. Seperti Kartini dulu. Komunitas untuk perempuan belajar dunia pergerakan sesuai perannya.

Karya: Ratna