Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kini tengah memasuki sebuah "era baru". Definisi era ini bisa beragam—mulai dari transisi kepemimpinan, adaptasi pasca-pandemi, hingga respons terhadap disrupsi digital dan kompleksitas sosio-politik. Terlepas dari definisinya, era baru menuntut pembaruan spirit. Respon yang sekadar melanjutkan tradisi (status quo) tidak lagi memadai; PMII dituntut menjadi akselerator peradaban. Dalam mencari inspirasi, kita dapat melakukan refleksi historis pada salah satu puncak peradaban Islam: masa keemasan Dinasti Abbasiyah, khususnya pada era kepemimpinan Khalifah Harun al-Rashid.
Nama Harun al-Rashid seringkali terasosiasi secara ahistoris dengan kemegahan istana dan narasi fantasi Seribu Satu Malam. Namun, jika kita kaji lebih dalam, di balik figur tersebut terdapat etos kepemimpinan yang sangat relevan bagi PMII hari ini. Era baru PMII seharusnya meneladani bukan kemewahannya, melainkan fondasi etos intelektualisme dan visi kesejahteraan sosial yang ia rintis.
Spirit Harun al-Rashid untuk Kader PMII
Berikut adalah beberapa aspek fundamental dari era Harun al-Rashid yang dapat diadopsi oleh PMII dalam menyongsong era barunya:
1. Patronase Intelektual (Spirit Bayt al-Hikmah)
Warisan monumental Harun al-Rashid bukanlah properti fisik, melainkan inisiasi Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Ini adalah proyek intelektual yang visioner. Harun al-Rashid mengalokasikan sumber daya besar untuk mengumpulkan para cendekiawan, melampaui batas-batas etnis dan keyakinan, dengan satu misi: penerjemahan, pengkajian, dan pengembangan ilmu.
Filsafat Yunani, kedokteran Persia, dan matematika India diterjemahkan, disintesis, dan dikembangkan secara masif di Baghdad. Meskipun Bayt al-Hikmah mencapai puncaknya pada masa putranya, Al-Ma'mun, Harun al-Rashid-lah yang meletakkan fondasi esensialnya.
Era baru PMII harus ditandai dengan "spirit Bayt al-Hikmah". PMII tidak boleh mengalami inferioritas di hadapan wacana keilmuan baru.
Selain itu, Kader PMII harus menjadi pionir, tidak hanya dalam penguasaan kajian turats (kitab kuning) dan ke-NU-an, tetapi juga dalam disiplin ilmu kontemporer. Literasi data (data science), ekonomi digital, public policy, dan kajian lingkungan harus menjadi bagian integral dari dialektika kader. PMII harus memulihkan khittahnya sebagai organisasi intelektual, di mana riset dan kajian menjadi nadi utama pergerakan.
2. Visi Kesejahteraan Publik (Kemaslahatan Umat)
Kisah legendaris Harun al-Rashid yang melakukan inspeksi malam hari (walau oleh sebagian sejarawan dipandang sebagai mitos) menyiratkan sebuah simbolisme penting: komitmen pemimpin terhadap kemaslahatan publik. Pada masanya, tingkat kemakmuran dan efektivitas administrasi publik (termasuk pengelolaan zakat) menjadi salah satu indikator keberhasilan ekonomi.
Era baru PMII harus mentransformasi orientasi dari sekadar "politik kader" (mendistribusikan kader di pos-pos strategis) menjadi "politik kemaslahatan" (mengadvokasi kebijakan yang berpihak pada publik).
Kader PMII harus menjadi artikulator kepentingan publik. Gerakan advokasi PMII harus berbasis riset (research-based advocacy), bukan sekadar reaktif-populis. Fokus pergerakan harus secara konsisten ditujukan pada pembelaan kelompok mustadh'afin (kaum terlemahkan) melalui analisis kebijakan yang tajam.
3. Kosmopolitanisme dan Visi Global
Harun al-Rashid memposisikan Baghdad sebagai pusat kosmopolitan dunia. Ia menjalin relasi diplomatik hingga ke Tiongkok dan Eropa (termasyhur dengan dialognya bersama Charlemagne). Era ini ditandai oleh keterbukaan terhadap budaya dan ilmu pengetahuan asing. Mereka tidak menolak, melainkan melakukan proses adopsi, asimilasi, dan "Islamisasi" ilmu untuk menghasilkan sintesis baru yang lebih unggul.
PMII, dengan akarnya pada nilai Islam Nusantara dan Ahlussunnah wal Jama'ah an-Nahdliyah, memiliki DNA tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran). Ini adalah modal fundamental untuk berperan di kancah global.
Di era baru, PMII tidak boleh merasa inferior di ranah global. Kader PMII harus didorong untuk menguasai bahasa asing, aktif dalam diskursus internasional, dan mampu menawarkan paradigma Islam wasathiyah (moderat) sebagai solusi atas krisis kemanusiaan dan ekstremisme global.
Transformasi Menuju Era Emas PMII
Meneladani Harun al-Rashid bukanlah soal romantisme sejarah atau upaya mereplikasi sistem politik monarki. Ini adalah tentang mengekstraksi spirit kepemimpinan: kecintaan pada ilmu, keberpihakan total pada kemaslahatan publik, dan visi global yang terbuka.
Era baru PMII tidak akan lahir secara otomatis melalui pergantian struktur. Ia hanya akan terwujud jika setiap kadernya memiliki ghirah (semangat) intelektualisme sekuat para cendekiawan di Bayt al-Hikmah, dan kepedulian sosial sedalam komitmen Harun al-Rashid pada rakyatnya.
Jika PMII berhasil melakukan transformasi ini, maka "Era Baru PMII" bukan lagi sekadar slogan, melainkan awal dari "Era Emas PMII" yang kontributif secara nyata bagi peradaban bangsa dan dunia.
Penulis : Fikri Haikal Aryansyach
Posted by 

comment 0 Comments
more_vert