Pendidikan secara umum dapat dipahami sebagai proses pendewasaan sosial manusia menuju pada tataran ideal. Makna yang terkandung di dalamnya menyangkut tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi atau sumber daya insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (Insan kamil).
Praktik pendidikan kita belakangan ini, disadari atau tidak, telah terjebak dalam dunia kapitalisme. Penyelenggaraan pendidikan adalah bagaimana perguruan tinggi dapat menjual kharisma dan kebanggaan sebesar-besarnya sehingga banyak calon siswa membelinya. Penilaian atas kharisma dan kebanggaan sebuah perguruan tinggi sifatnya kapital sehingga pendidikan berbiaya mahal dapat dibenarkan.
Mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi kita belakangan ini (termasuk perguruan tinggi negeri), kini menjadi momok yang menakutkan. Mahalnya biaya pendidikan tersebut mengakibatkan semakin jauhnya layanan pendidikan (yang bermutu) dari jangkauan kaum miskin, Dampaknya akan menciptakan kelas-kelas sosial dan ketidakadilan sosial.
Salah satu budaya yang lahir dari masyarakat barat adalah pada akhir abad pertengahan yang masih sangat berpengaruh pada masyarakat modern dewasa ini adalah paham kapitalis, atau yang lebih akrab disebut kapitalisme. Kapitalisme sebagai sebuah budaya sekaligus sebagai ideologi masyarakat barat, mulai sejak lahirnya sampai saat sekarang ini telah memberi pengaruh yang cukup besar terhadap segala segi kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal ini segi pendidikan.
Sejak pertengahan dekade-20 an, modernisasi pendidikan agama berlangsung demikian intens. Standarisasi sistem perguruan tinggi, pembakuan kurikulum, metode pembelajaran mengadopsi metode yang diterapkan oleh perguruan tinggi pemerintah, penerbitan buku-buku teks dilakukan oleh kaum modernis sendiri. Modernisasi pendidikan agama itu sesungguhnya sudah mewakili kecenderungan terhadap “sekularisasi”. Salah satu indikatornya adalah mata-mata pelajaran yang umum (sekuler) terus menerus membengkak dalam komposisi kurikulum lembaga pendidikan islam.
Perubahan sistem pendidikan islam itu, di ikuti perubahan sistem ekonomi pendidikan dengan mengadobsi sistem colonial belanda yang kapitalis, sistem pendidikan agama lewat surau dan pondok pesantren yang memperoleh dana dari shodaqoh yang diberikan oleh masyarakat, kini berubah menjadi madrasah yang harus dibayar oleh keluarga siswa masing-masing dengan bayaran yang sama tanpa mempertimbangkan tingkat ekonomi keluarga setiap siswa.
Perubahan mendasar lain adalah menyangkut kepemilikan lembaga pendidikan, jika pesantren atau surau itu adalah milik pendiri dan anak cucunya secara turun menurun, maka madrasah adalah milik organisasi yayasan atau pemerintah yang sudah ditentukan sistem manajemennya.
Madrasah atau perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah dan yayasan sudah merupakan sistem pendidikan yang dikomersilkan. Setiap siswa yang masuk di perguruan tinggi tersebut harus membayar uang perguruan tinggi, sebagian dari dana tersebut dimanfaatkan untuk pemeliharaan lembaga, dan sebagaian yang lain digunakan untuk upah pengelola dana para guru.
Longgarnya persyaratan untuk mendirikan yayasan oleh pemerintah, menyebabkan menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan swasta yang komersil, baik perguruan tinggi yang berhaluan umum, maupun madrasah dan pesantren modern, bahkan sampai pada tingkat perguruan tinggi. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut kadang terlihat sepi dalam hari-hari belajarnya tetapi setiap tahun mengeluarkan ijazah dalam jumlah yang banyak.
Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, murid/anak didik hanya menghafal seluruh yang diceritakan oleh gurunya tanpa mengerti. Murid adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikan yang demikian itulah yang disebut oleh Freiren sebagai pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada para murid tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Peserta didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya peserta didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Akibatnya perguruan tinggi adalah tempat untuk mendapatkan ijazah, karena ijazah adalah syarat utama untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini berimplikasi pada sikap dan perilaku baik masyarakat maupun peserta didik yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan ijazah. Tradisi menyontek, plagiat, menyuap, membayar ijazah, membayar skripsi, dan lain-lain lahir dari paradigma materialism ini. Kalau penyelenggara pendidikan swasta yang melakukan pungutan biaya sesuai dengan keinginan mereka dari para peserta didik, mungkin hal itu masih bisa dianggap wajar, karena lembaga itulah yang menjadi sumber dana primer untuk pembiayaan segala aspek yang menggerakkan roda pendidikannya, termasuk biaya pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur perguruan tinggi dan para guru. Tetapi kalau yang melakukannya adalah perguruan tinggi-perguruan tinggi dibawah naungan pemerintah, ini yang menjadi masalah yang serius. Dan hal ini menjadi kenyataan dalam dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini, yaitu adanya kastanisasi pendidikan.
Inilah yang menjadi bagian kegelisahan dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini, karena pendidikan yang diharapkan menjadi agen dalam usaha untuk mencerdaskan seluruh bangsa Indonesia, tetapi kontaminasi oleh praktek-praktek pendidikan kapitalis, sehingga pendidikan yang diharapkan dapat membantu masyarakat dalam menemukan solusi terhadap berbagai persoalan-persoalan social bangsa, tetapi justru pendidikan itu sendiri yang sering menjadi persoalan social yang sulit ditemukan solusinya, seperti persoalan biayanya, lingkungannya, sarana-prasarananya, kurikulumnya dan lain-lain.
Oleh : Muhammad Muslihin
comment 0 Comments
more_vert