MASIGNASUKAv102
6510051498749449419

Menanti Gerakan PMII Berbasis Gender di Indonesia

Menanti Gerakan PMII Berbasis Gender di Indonesia
Add Comments
Rabu, 22 Mei 2019
https://khazanah.republika.co.id
20 Desember 1993. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meresmikan Declaration on The eliminatin of Violence Against Women atau Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Definisi kekerasan terhadap perempuan tercantum dalam pasal 1 yang berbunyi “Dalam Deklarasi ini, yang dimaksud “kekerasan terhadap perempuan” adalah setiap  perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi”

Dengan demikian, ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam rumah tangga (keluarga), di masyarakat luas (tempat publik) serta yang di wilayah negara. Landasan hukum perumusan ini adalah Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan dikuatkan oleh Rekomendasi Umum CEDAW Convention on the Elimination of all Discrimination Againts Women No. 19/1992 tentang kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis gender dan merupakan suatu bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Benih-benih geraka kesetaraan gender (feminisme) mulai muncul sekitar Abad ke-19. Gerakan yang terhimpun dalam wadah Women Liberation (Gerakan Pembebasan wanita) ini berpusat di Amerika. Arah perjuangan Women Libration  ini adalah untuk menuntut persamaan antara kaum wanita dan kaum pria.
Berbeda jauh dengan keadaan abad ke-20, gerakan gender fokus aktifitasnya pada perjuangan untuk mendapatkan hak pilih. Pada waktu itu, suara kaum perempuan disejajarkan dengan kaum anak-anak sehingga mereka tidak memiliki hak pilih. Sehingga pada tahun 1948, sejumlah kaum perempuan meggelar unjuk rasa di Senece Fall, New York, untuk menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara.

Geraka kaum feminis ini sempat karam dan pasang kembali pada tahun 1960, gerakan feminis pada priode ini terinspirasi dari buku berjudul The Feminine Mystiquue (1963) karya Betty Freidan. Dalam bukunya Betty mengutarakan bahwa peran wanita di sektor domestik, yakni sebagai ibu rumah, menjadikan penyebab utama tidak berkembangya kepribadian wanita. Pemikiran ini akhirnya memunculkan pemikiran negative terhadap intitusi pernikahan. Sebab konsekuensi pernikahan adalah memiliki anak dan kehadiran anak dianggap sebagai beban.

Gerakan Kaum Feminis dalam Islam

Tingkat agresivtas yang sangat menghawatirkan ditunjukkan oleh kaum feminis di dunia islam dalam dua dekade terakhir perempuan Pakistan telah menjadi target gerakan feminis. tahun 1975 pemerintah Pakistan mendorong perempuan untuk mengikuti pemikiran feminisme, walaupun pada tahun 1977 ketika proses islamisasi dan meliterisasi telah berhasil membendung pemikiran ini, akan tetapi pada tahun 1980, gegrakan feminis kembali bermunculan di Pakistan secara segnifikan. Indonesia mengalami nasib yang sama dengan Pakistan. Kesetaraan gender disosialisasikan dengan gencar dan sistematis keseluruh dunia, melalui ormas, LSM, lebaga pendidikan formal dan non formal.

Ruang lingkup gerakan feminis begitu luas, mulai tingkat internasioal sampai institusi masyrakat yang terkecil. Yaitu RT dengan mengatas namakan HAM, para aktivis perempuan kemudian berusaha mempengaruhi pemerintah dalam masalah kebijakan sampai teknis oprasional. Usaha mereka sepertinya membuahkan hasil sehingga pada tahun 1984 pemerintah Indonesia mengesahkan UU no. 7. Kemudian nomer 23 tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU perlindungan anak, dan adanya upaya legalisasi aborsi melalui amandemen UU kesehatan. Dalam bidang politik, feminis berada dibelakang keluarnya UU pemilu tahun 2008 kuota caleg perempuan sebanyak 30 persen.

Aktivis perempuan di Indonesia masih jarang di publiksikan, jika flash back pada sejarah Indonesia yang kala itu sebelum merdeka, kerajaan-kerajaan dipimpin oleh Ratu-Ratu yang tersebar mulai dari sabang sampai merauke. Akan tetapi dalam masa selanjutnya yaitu pada masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan aktivis dan pemimpin perempuan mulai menyusut, terdapat beberapa tokoh yang gigih seperti R.A Kartini, Cut Nyak Dien, dan beberapa tokoh lainya.
Penyusutan Srikandi Bangsa

Terkikisnya hiroh pemimpin perempuan dibangsa ini bisa terjadi karena adanya faktor politik yang mempengaruhi, ketika wadah untuk perempuan go public dibatasi oleh aturan-aturan dan kontrak politik.Selanjutnya juga ada faktor budaya, dibeberpa daerah di Indonesia yang membataasi ruang gerak perempuan, terutama dari lingkungan keluarga yang memberikan dukungan terbesar. Banyaknya tuduhan yang ditunjukan kepada islam dengan lebel agama yang bias gender. Sementara hanya sedikit sekali padangan yang menyatakan bahwa islam adalah agama yang mengajarkan keadilan dan kesetaraan gender.

Tuduhan islam sebagai agama yang bias gender seringkali dikuatkan dengan argumentasi dalil-dalil agama (ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah/ Hadis) yang berisi ketentuan yang lebih memihak kepada kaum laki-laki dan mendeskriditkan kaum perempuan.
Untuk bisa memahami pandangan islam terhadap perempuan secara tepat, perlu diketahui terlebih dahulu posisi perempuan sebelum islam datang. Perempuan pada masa pra islam tidak mempunyai nilai sama sekali. Mereka bagaikan barang yang diperjual belikan, dan bahkan dapat diwarisi, praktek ini dilarang oleh islam, sebagaimana diabadikan dalam surat al-Nisa’ ayat 19: “ Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi perempuan secara paksa”.

Salah satu solusi dalam gerak aktivis perempuan agar diterima masyarakat dan budaya Indonesia yaitu dengan Gerakan Perempuan Islam Aswaja, dengan penerapan Tasamuh, Tawazun, Tawassuth dan Al-Adalah yang merupakan materi dasar dalam PMII saat Masa Penerimaan Mahasiswa Baru (MAPABA), penerapan empat Prinsip islam aswaja yang dilakuka, tentunya akan memunculkan reaki besar terhadaap kader-kader perempuna.

Oleh: Badrut Tamam
(Penulis adalah kader PMII Rayon Dakwah Tahun 2013)