MASIGNASUKAv102
6510051498749449419

Surat Harian Untuk Perampok Zaman

Surat Harian Untuk Perampok Zaman
Add Comments
Rabu, 28 Oktober 2020


 Dokumen: TribunKaltim.co




Dari: Keponakanmu

Untuk: Om So

Assalamu'alaikum Om So, kini kutulis kembali surat untukmu, setelah ku bawah rinduku pulang ke tanah kelahiran. Saat diriku di atas laju motor dari Semarang, ternyata diriku tidak hanya membawa rindu Om, tapi diriku juga membawa keresahan hati dan fikiran yang tak sengaja terbawa. Kau tahu apa itu Om? Ya lagi-lagi tentang negeri ini Om, alam, lingkungan, kehidupan modern ini meninggalkan resah malam ini. Kau tahu Om? Alam persawahan dan perkebunan, sepanjang mataku memandang. Kini tidak lagi terlihat hijau menyegarkan. Tapi kini telah rata dengan tanah, tertuliskan “tanah kavlingan, siap dijual dan dibangun perumahan dan kawasan industry”.

Om? Apa para petani sudah lelah berjuang di negeri sendiri? Apakah petani bosan dengan hasil panen yang selalu rugi? Ataukah petani sudah tidak ingin lagi jadi petani? Om, semoga kau menjawab pertanyaaanku semua ini. Di zaman modern ini Om, sangat sempit sekali lahan yang kosong. Dimana biasanya ramai permainan anak-anak kecil ataupun orang dewasa. Kini semua telah dioperasikan dalam pembangunan-pembangunan yang mengatasnamakan kemajuan zaman. Om, tanah yang biasanya aku lihat tertanami pohon-pohon, padi-padi, dan sayuran. Kini telah tertanami gedung-gedung yang berdiri subur, dengan cerobong besi yang selalu menguap tiap harinya Om.

Sungguh hati ini terasa tergetarkan rasa kemanusiaan, ketika kulihat pembangunan-pembangunan yang semakin semarak akhir-akhir ini, harus sedikit demi sedikit mengikis dan menyudutkan lahan-lahan pangan. Bagaimana bisa nantinya mendapatkan air bersih, tanah yang subur, bila berdampingan dengan pabrik-pabrik raksasa dengan pembuangan limbah dan lainnya? bagaimana kita bisa menikmati keindahan alam yang hijau dan bersih, jika semua itu dibuat untuk kaum-kaum elit belaka ?

 Sekarang sudah banyak sekali perumahan-perumahan yang terbangun megah dan indah, yang tak hanya berdiri di tengah kota atau sudut kota, tapi juga di sudut-sudut desa juga Om. Seakan kekayaan alam ini hanya untuk orang-orang beruang dan sanggup membayar. Bukankah dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33Ayat 3 dimana bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.

Apakah rakyat yang harus hidup di sudut-sudut kota dan pelosok desa yang kumuh, apakah rakyat yang harus rela hidup di gang-gang sempit penuh teriakan dan tangisan. Apakah rakyat harus membayar mahal untuk keindahan dan kekayaan alamnya sendiri? Sebenarnya ini negeri siapa Om? Maaf Om jika banyak sekali resah dalam hati dan fikiranku, tapi itulah kenyataannya Om. Kini kutuliskan surat untuk mu tentang dampak kemajuan zaman di negeri ini Om kuharap diriku dan Om So selalu bisa memperjuangkan hidup di tanah kelahirannya dengan selalu menjaga lingkungan dari tangan-tangan perampok zaman Om.

Jangan sampai kita menangis dan mengemis di negeri agraris, layaknya seorang petani yang berjuang tanpa gelar pahlawan pangan di negeri yang penuh keserakahan.

 

Demak, 25 Oktober 2020

Tertanda

 

(Keponakanmu)

 

Aku seruput kopi susu di atas meja dan mulai diriku membayangkan negara ini 10 tahun yang akan datang.

"Heyyy!!!" sentak diriku terkejut dengan suara dan tangan yang memegang pundakku tiba-tiba.

"Woey........." Langsung ku elus-elus dadaku ini.

"Melamun saja!"

 "Eh paman, ngagetin aja. Darimana paman? Kok aku gak tahu datangnya." tanyaku kepada Paman Hendi. Ia saudara laki-laki dari ayahku.

"Ya gak tahu lah, kamunya bengong melulu. Hidup itu gak usah banyak difikirkan, jalankan saja." Ujarnya.

"Ah siapa yang banyak fikiran."

"Lagi mikirin pacarmu apa?" Selorohnya kepadaku, sambil ia duduk di depan kursi yang ada di depanku.

"Tidak paman, hanya saja diriku tergerakan dengan keadaan lingkungan masyarakat saat ini." Ucapku, yang berani kukatakan secara langsung. Karena paman Hendi adalah seorang guru pendidikan kewarganegaraan, mungkin saja bisa menjadi bahan bertukar fikiran.

"Emang kenapa dengan lingkungan saat ini? Ngomong-ngomong kamu pulang kesini kapan?" Tanyanya.

"Tadi siang paman," terangku. "Jadi akhir-akhir ini semakin hari semakin kesini aku melihat banyak sekali tanah persawahan atau perkebunan disulap menjadi tanah kavlingan yang siap dibangun perumahan-perumahan atau pembangunan-pembangunan gedung dan pabrik. Disinilah hatiku terketuk, coba paman bayangkan 3-10 tahun yang akan datang, lahan-lahan persawahan dan perkebunan akan menjadi perumahan-perumahan dan gedung-gedung besar atau saja menjadi pemukiman tempat tinggal. Apa 10 tahun yang akan datang kita akan mengemis pangan dinegeri agraris? Karena dampak tiada lahan pangan?" tanyaku dengan resah.

"Kebutuhan akan tempat tinggal dan atap kerja itu juga bagian dari aspek fundamental masyarakat dalam keberlangsungan hidup nak!" jawabnya.

"Iya saya mengerti paman, karena kepadatan penduduk dan kebutuhan masyarakat itu tersendiri. Tapi apa tidak solusi lain selain mengikis lahan persawahan dan perkebunan?"

"Perkembangan model bisnis properti yang kesannya seperti menganggurkan lahan dengan menunggu pembeli kaplingan ini juga perlu di soroti sebenernya dalam negara dan ekosistem lingkungan. Berbeda dengan masyarakat desa yang memanfaatkan lahan mereka sebagai lapangan kerja atau lumbung usaha dengan tetap terus menanami sawahnya dengan padi atau tumbuhan lain. Sebenarnya semua kembali terhadap pola pemikiran masyarakat kembali. Jika tanah itu untuk dibangun roda perekonomian, maka investor atau industri yg menginginkan lahan masyarakat secara tidak langsung, sebenarnya ia juga merampas pekerjaan masyarakat, seperti halnya petani sendiri. Disinilah masyarakat harus cerdas dan bisa menilai dampak yang diberikan kepada lingkungan seperti apa. Karena pasti investor akan menjajikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar, di ganti dengan prioritas SDM pekerja dari lingkungan terdekat, ketika dibangun suatu pabrik atau roda perekonomian disana." Terangnya dengan panjang kepadaku.

"Wah, jika masyarakat yang tidak tahu, maka ini akan merugikan dong paman?" tanyaku lagi yang ingin masih mencari lebih jauh lagi.

"Di bilang merugikan tidak, hanya saja jalannya industrialisasi dan arus global yg begitu cepat tidak sebanding dengan kesiapan SDM bangsa ini. Semua akan kembali lagi pada pola pemikiran masyarakat lagi, karena masyarakat harus pintar dan harus mampu mengikuti arus zaman. Karena seiring dengan industrialisasi yang berkembang masyarakat tani juga di tuntut untum mengembangkan model tanam yang tidak memakan banyak lahan sehingga tujuan asing akan lebih mudah untuk menanam pabrik dan gedung-gedung. Banyak aspek yang perlu disentuh lebih dalam, karena bicara soal sosial kemasyarakatan tidak cukup dengan pembahasan 1 tool saja nak!"

"Iya paman aku mengerti, sebagai masyarakat kita harus juga paham mengenai dampak lingkungan terhadapa ekosistem yang ada, jika masyarakat sudah acuh tak acuh dengan suatu perubahan yang baru. Maka kita akan sama saja mudah untuk dibodohi."

"Eh eh eh, ada takut kok gak bilang-bilang toh den," tiba-tiba suara Mbok Mi memotong pembicaraan kami.

"Hehehe, sudah keasikan ngobrol sih Mbok jadi lupa." Kataku sambil pecingisan.

"Eh Hendi, dari mana Hen? Kok tumben sendirian kesini, mana istrimu?" tanya Mbok Mi.

"Ini loh Mbok, ada titipan dari istriku suruh ngasih surat undangan dari Bu Suharti, istriku lagi membantu nyiap-nyiapin makanan disana makanya gak bisa kesini." Terang Paman Hendi.

"Oh ya sudah, dilanjutkan saja ngobrolnya, tak buatin kopi dulu."

"Iya Mbok makasih." Ucap Paman Hendi. "Yang terpenting buat Nak Raden ialah terus menggali pengetahuan, pengetahuan, dan pengetahuan. Dan itu saja tidak cukup Nak Raden harus bisa mengasa ada dan fikirannya. Menjadi masyarakat yang cerdas itu tidak mudah nak, harus mempunyai sikap dan mental yang kuat pula." Ujarnya kepadaku.

"Iya Paman aku harus tetap belajar diatas segala penderitaan dan problematika kemajuan zaman ini dan hidup harus tetap diperjuangkan paman."

Kutulis sebuah bait puisi untuk para perampok zaman ini, semoga suara sajakku sampai ke telingamu.

 

 

Perampok Zaman

 

Padi-padi jatuh gugur

Pabrik dan gedung tumbuh subur

Coba kau lihat jalanan tol itu

Coba kau lihat gedung-gedung yang megah itu

Saya berani sersumpah, dengan dalih apapun

Jika bukan karena orang kaya, jika bukan karena para penguasa

Semua itu tak akan dibuat percuma untuk rakyat jelata

 

Wahai kasihku, coba kau lihat tanah lapang itu, dimana setiap sorenya kita mengukir senyum di langit jingga dengan canda tawa

Kini lahan itu menjadi perumahan-perumahan elit yang tak tersentuh dan terjama

Ketat dengan penjaga-penjaganya

Petani mengemis di negeri agraris

Buruh berkeluh kesah di alam yang kaya raya

Apakah kita akan menjadi ayam yang mati di lumbung padi

Ataukah kita akan menjadi ikan yang haus di tengah samudra luas

 

Cucuku, negaraku sedang membuat dalih perkembangan zaman untuk kemajuan negara

Entah negara yang mana

Cucuku janganlah risau,

 Nantinya akan ku ceritakan serunya bermain air di sungai,

Asiknya melompat kesana-sini di tepian rawa.

Senangnya bermain ria dengan tawa di tengah hujan lelumpuran sawah.

Indahnya menarik mengulur layang-layang hingga lupa waktu pulang

Cucuku, kuceritakan segala keindahan, kelak agar kau tak menyesal hidup di akhir zaman

Cucuku, kini perampok zaman sedang berdalih untuk kemajuan zaman

 

Karya: Sahabat Ahmad Syafi'i

Editor: Lutfi A. Hadi