Dari: Keponakanmu
Untuk:
Om So
Assalamu'alaikum Om So, kini
kutulis kembali surat untukmu, setelah ku bawah rinduku pulang ke tanah
kelahiran. Saat diriku di atas laju motor dari Semarang, ternyata diriku tidak
hanya membawa rindu Om, tapi diriku juga membawa keresahan hati dan fikiran yang
tak sengaja terbawa. Kau tahu apa itu Om? Ya lagi-lagi tentang negeri ini Om,
alam, lingkungan, kehidupan modern ini meninggalkan resah malam ini. Kau tahu
Om? Alam persawahan dan perkebunan, sepanjang mataku memandang. Kini tidak lagi
terlihat hijau menyegarkan. Tapi kini telah rata dengan tanah, tertuliskan “tanah
kavlingan, siap dijual dan dibangun perumahan dan kawasan industry”.
Om? Apa para petani sudah lelah
berjuang di negeri sendiri? Apakah petani bosan dengan hasil panen yang selalu
rugi? Ataukah petani sudah tidak ingin lagi jadi petani? Om, semoga kau
menjawab pertanyaaanku semua ini. Di zaman modern ini Om, sangat sempit sekali
lahan yang kosong. Dimana biasanya ramai permainan anak-anak kecil ataupun
orang dewasa. Kini semua telah dioperasikan dalam pembangunan-pembangunan yang
mengatasnamakan kemajuan zaman. Om, tanah yang biasanya aku lihat tertanami
pohon-pohon, padi-padi, dan sayuran. Kini telah tertanami gedung-gedung yang
berdiri subur, dengan cerobong besi yang selalu menguap tiap harinya Om.
Sungguh hati ini terasa tergetarkan
rasa kemanusiaan, ketika kulihat pembangunan-pembangunan yang semakin semarak
akhir-akhir ini, harus sedikit demi sedikit mengikis dan menyudutkan
lahan-lahan pangan. Bagaimana bisa nantinya mendapatkan air bersih, tanah yang
subur, bila berdampingan dengan pabrik-pabrik raksasa dengan pembuangan limbah
dan lainnya? bagaimana kita bisa menikmati keindahan alam yang hijau dan
bersih, jika semua itu dibuat untuk kaum-kaum elit belaka ?
Sekarang sudah banyak sekali
perumahan-perumahan yang terbangun megah dan indah, yang tak hanya berdiri di
tengah kota atau sudut kota, tapi juga di sudut-sudut desa juga Om. Seakan
kekayaan alam ini hanya untuk orang-orang beruang dan sanggup membayar.
Bukankah dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33Ayat 3 dimana bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
Apakah rakyat yang harus hidup di
sudut-sudut kota dan pelosok desa yang kumuh, apakah rakyat yang harus rela
hidup di gang-gang sempit penuh teriakan dan tangisan. Apakah rakyat harus
membayar mahal untuk keindahan dan kekayaan alamnya sendiri? Sebenarnya ini
negeri siapa Om? Maaf Om jika banyak sekali resah dalam hati dan fikiranku, tapi
itulah kenyataannya Om. Kini kutuliskan surat untuk mu tentang dampak kemajuan
zaman di negeri ini Om kuharap diriku dan Om So selalu bisa memperjuangkan
hidup di tanah kelahirannya dengan selalu menjaga lingkungan dari tangan-tangan
perampok zaman Om.
Jangan sampai kita menangis dan
mengemis di negeri agraris, layaknya seorang petani yang berjuang tanpa gelar
pahlawan pangan di negeri yang penuh keserakahan.
Demak,
25 Oktober 2020
Tertanda
(Keponakanmu)
Aku seruput kopi susu di atas meja
dan mulai diriku membayangkan negara ini 10 tahun yang akan datang.
"Heyyy!!!" sentak diriku
terkejut dengan suara dan tangan yang memegang pundakku tiba-tiba.
"Woey........." Langsung
ku elus-elus dadaku ini.
"Melamun saja!"
"Eh paman, ngagetin aja. Darimana paman?
Kok aku gak tahu datangnya." tanyaku kepada Paman Hendi. Ia saudara
laki-laki dari ayahku.
"Ya gak tahu lah, kamunya
bengong melulu. Hidup itu gak usah banyak difikirkan, jalankan saja."
Ujarnya.
"Ah siapa yang banyak
fikiran."
"Lagi mikirin pacarmu
apa?" Selorohnya kepadaku, sambil ia duduk di depan kursi yang ada di
depanku.
"Tidak paman, hanya saja
diriku tergerakan dengan keadaan lingkungan masyarakat saat ini." Ucapku,
yang berani kukatakan secara langsung. Karena paman Hendi adalah seorang guru
pendidikan kewarganegaraan, mungkin saja bisa menjadi bahan bertukar fikiran.
"Emang kenapa dengan
lingkungan saat ini? Ngomong-ngomong kamu pulang kesini kapan?" Tanyanya.
"Tadi siang paman,"
terangku. "Jadi akhir-akhir ini semakin hari semakin kesini aku melihat
banyak sekali tanah persawahan atau perkebunan disulap menjadi tanah kavlingan
yang siap dibangun perumahan-perumahan atau pembangunan-pembangunan gedung dan
pabrik. Disinilah hatiku terketuk, coba paman bayangkan 3-10 tahun yang akan
datang, lahan-lahan persawahan dan perkebunan akan menjadi perumahan-perumahan
dan gedung-gedung besar atau saja menjadi pemukiman tempat tinggal. Apa 10
tahun yang akan datang kita akan mengemis pangan dinegeri agraris? Karena
dampak tiada lahan pangan?" tanyaku dengan resah.
"Kebutuhan akan tempat tinggal
dan atap kerja itu juga bagian dari aspek fundamental masyarakat dalam
keberlangsungan hidup nak!" jawabnya.
"Iya saya mengerti paman,
karena kepadatan penduduk dan kebutuhan masyarakat itu tersendiri. Tapi apa
tidak solusi lain selain mengikis lahan persawahan dan perkebunan?"
"Perkembangan model bisnis
properti yang kesannya seperti menganggurkan lahan dengan menunggu pembeli
kaplingan ini juga perlu di soroti sebenernya dalam negara dan ekosistem
lingkungan. Berbeda dengan masyarakat desa yang memanfaatkan lahan mereka
sebagai lapangan kerja atau lumbung usaha dengan tetap terus menanami sawahnya
dengan padi atau tumbuhan lain. Sebenarnya semua kembali terhadap pola
pemikiran masyarakat kembali. Jika tanah itu untuk dibangun roda perekonomian,
maka investor atau industri yg menginginkan lahan masyarakat secara tidak
langsung, sebenarnya ia juga merampas pekerjaan masyarakat, seperti halnya
petani sendiri. Disinilah masyarakat harus cerdas dan bisa menilai dampak yang
diberikan kepada lingkungan seperti apa. Karena pasti investor akan menjajikan
lapangan kerja bagi masyarakat sekitar, di ganti dengan prioritas SDM pekerja
dari lingkungan terdekat, ketika dibangun suatu pabrik atau roda perekonomian
disana." Terangnya dengan panjang kepadaku.
"Wah, jika masyarakat yang
tidak tahu, maka ini akan merugikan dong paman?" tanyaku lagi yang ingin
masih mencari lebih jauh lagi.
"Di bilang merugikan tidak,
hanya saja jalannya industrialisasi dan arus global yg begitu cepat tidak
sebanding dengan kesiapan SDM bangsa ini. Semua akan kembali lagi pada pola
pemikiran masyarakat lagi, karena masyarakat harus pintar dan harus mampu
mengikuti arus zaman. Karena seiring dengan industrialisasi yang berkembang
masyarakat tani juga di tuntut untum mengembangkan model tanam yang tidak
memakan banyak lahan sehingga tujuan asing akan lebih mudah untuk menanam
pabrik dan gedung-gedung. Banyak aspek yang perlu disentuh lebih dalam, karena
bicara soal sosial kemasyarakatan tidak cukup dengan pembahasan 1 tool saja
nak!"
"Iya paman aku mengerti,
sebagai masyarakat kita harus juga paham mengenai dampak lingkungan terhadapa
ekosistem yang ada, jika masyarakat sudah acuh tak acuh dengan suatu perubahan
yang baru. Maka kita akan sama saja mudah untuk dibodohi."
"Eh eh eh, ada takut kok gak
bilang-bilang toh den," tiba-tiba suara Mbok Mi memotong pembicaraan kami.
"Hehehe, sudah keasikan
ngobrol sih Mbok jadi lupa." Kataku sambil pecingisan.
"Eh Hendi, dari mana Hen? Kok
tumben sendirian kesini, mana istrimu?" tanya Mbok Mi.
"Ini loh Mbok, ada titipan
dari istriku suruh ngasih surat undangan dari Bu Suharti, istriku lagi membantu
nyiap-nyiapin makanan disana makanya gak bisa kesini." Terang Paman Hendi.
"Oh ya sudah, dilanjutkan saja
ngobrolnya, tak buatin kopi dulu."
"Iya Mbok makasih." Ucap
Paman Hendi. "Yang terpenting buat Nak Raden ialah terus menggali
pengetahuan, pengetahuan, dan pengetahuan. Dan itu saja tidak cukup Nak Raden
harus bisa mengasa ada dan fikirannya. Menjadi masyarakat yang cerdas itu tidak
mudah nak, harus mempunyai sikap dan mental yang kuat pula." Ujarnya
kepadaku.
"Iya Paman aku harus tetap
belajar diatas segala penderitaan dan problematika kemajuan zaman ini dan hidup
harus tetap diperjuangkan paman."
Kutulis sebuah bait puisi untuk
para perampok zaman ini, semoga suara sajakku sampai ke telingamu.
Perampok
Zaman
Padi-padi
jatuh gugur
Pabrik
dan gedung tumbuh subur
Coba
kau lihat jalanan tol itu
Coba
kau lihat gedung-gedung yang megah itu
Saya
berani sersumpah, dengan dalih apapun
Jika
bukan karena orang kaya, jika bukan karena para penguasa
Semua
itu tak akan dibuat percuma untuk rakyat jelata
Wahai
kasihku, coba kau lihat tanah lapang itu, dimana setiap sorenya kita mengukir
senyum di langit jingga dengan canda tawa
Kini
lahan itu menjadi perumahan-perumahan elit yang tak tersentuh dan terjama
Ketat
dengan penjaga-penjaganya
Petani
mengemis di negeri agraris
Buruh
berkeluh kesah di alam yang kaya raya
Apakah
kita akan menjadi ayam yang mati di lumbung padi
Ataukah
kita akan menjadi ikan yang haus di tengah samudra luas
Cucuku,
negaraku sedang membuat dalih perkembangan zaman untuk kemajuan negara
Entah
negara yang mana
Cucuku
janganlah risau,
Nantinya akan ku ceritakan serunya bermain air
di sungai,
Asiknya
melompat kesana-sini di tepian rawa.
Senangnya
bermain ria dengan tawa di tengah hujan lelumpuran sawah.
Indahnya
menarik mengulur layang-layang hingga lupa waktu pulang
Cucuku,
kuceritakan segala keindahan, kelak agar kau tak menyesal hidup di akhir zaman
Cucuku,
kini perampok zaman sedang berdalih untuk kemajuan zaman
comment 0 Comments
more_vert