Rohana Kudus lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, 20 Desember 1884. Memiliki darah keturunan seorang Jurnalis dan penyair. Sejak kecil kegemarannya akan buku sudah sangatlah terbentuk. Sampai-sampai ayahnya berlangganan surat kabar atau buku-buku majalah untuk ia baca. Dilahirkan ditengah keluarga yang mengalir deras darah penulis dan juga penyair, membuatnya terbiasa dengan banyak buku bacaan. Jenis apapun dilahapnya. Memang benar pepatah mengatakan, “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, berasal dari keluarga yang memiliki jiwa seorang penulis dan penyair menjadikannya serta tokoh-tokoh hebat lahir. Sebut saja Sutan Syahrir, seorang perdana menteri RI pertama, dan juga Choiril Anwar yang merupakan penyair yang karyanya tak diragukan lagi.
Ia bak bunga yang harum akan jasa dan perjuangannya. Merupakan salah satu tokoh emansipasi wanita, yang juga hidup satu masa dengan Ibu Kartini, Sang Puteri Indonesia yang harum bak bunga mawar yang indah.
Ia hidup di masa seorang wanita tidak mendapat kebebasan untuk menuntut ilmu atau mengenyam pendidikan di sekolah formal, tetapi sosok yang satu ini merupakan wanita cerdas yang memiliki semangat tingi, tingkat intelegensi, ketegasan dan kegigihannya berjuang untuk perempuan sampai-sampai diakui oleh dunia internasional di zaman kolonial Belanda. Sosok yang juga gigih, berwawasan, dan kaya akan ide-ide cemerlang untuk mewujudkan cita-citanya untuk kaum perempuan. Soenting Melajoe adalah salah satu media yang Ia gunakan untuk mengisi ruang perempuan untuk melakukan sebuah gerakan dengan nama perempuan bergerak. Didirikan bersama Mahyuddin Datuk Sutan Maharaja. Ia juga dinobatkan sebagai Jurnalis Perempuan pertama di Indonesia.
Selain itu juga, ia termasuk salah satu pendiri sekolah untuk perempuan. Yang mana pada masanya kala itu, perempuan dituntut untuk selalu didapur, karena representasi dari seseorang yang memiliki anak perempuan adalah nantinya akan kembaali ke dapur dan untuk apa membuang-buang waktu, uang dan tenaga untuk menyekolahkan anak perempuan. Kurang lebih seperti itu anggapan yang ada kala itu. Tetapi, tidak untuk sosok yang satu ini. Ya, dialah Rohanna Kudus.
Lahir dari pasangan Mohamad Rasjad Maharadja dan Kiam. Ayahnya, Rasjad bekerja untuk pemerintah kolonial di kantor kejaksaan. Sosok ayahnya yang berpendidikan inilah yang menjadi modal bagi Rohana sejak kecil untuk tumbuh menjadi perempuan yang cerdas. Perempuan berdarah minang ini sudah sedari dini ditanamkan pengetahuan dengan membaca oleh ayahandanya yang juga seorang jurnalis dan Jaksa pada masanya dan juga terlahir dari keluarga yang mengalir deras bakat penulis dan penyair. Hal tersebutlah yang membentuk Rohanna sejak kecil untuk memiliki keinginan kuat untuk dapat setara dengan kaum laki-laki dalam hal mendapatkan pendidikan yang baik.
Di zaman itu, pendidikan menjadi suatu hal yang mahal. Apalagi untuk anak perempuan. Tapi Rasjad tak mau Rohana lahir dan tumbuh sebagai perempuan bodoh. Sejak balita, Rasjad mengajarkan Rohana membaca huruf latin dan Arab. Dimana ia selalu memberikan bahan-bahan bacaan kepada Rohana. Ketika baru berusia tujuh tahun, Rohana sudah menjadi pusat perhatian bagi teman-teman bermainnya karena ia pandai membacakan cerita.
Setelah tumbuh dewasa, ia berkiprah dalam dunia Jurnalis, karena bakat menulis yang telah ada, menjadikannya mendirikan Soenting Melajoe dan hal ini dilakukan untuk menyuarakan suara wanita, dan juga sebagai simbol atas hak merdeka bagi wanita yang selalu dianggap remeh dan tak berpendidikan.
Roehana miris melihat perempuan di Minangkabau di zaman itu tidak boleh bebas keluar rumah seperti kaum laki-laki. Perempuan yang masih gadis hanya diizinkan belajar untuk urusan keperempuanan seperti memasak, menjahit, dan berdandan. Nantinya nasib mereka akan ditentukan oleh ninik mamak untuk dijodohkan dengan orang-orang di Koto Gadang.
Jadilah perempuan Koto Gadang yang dikenal berparas cantik, tapi identik dengan kebodohan. Perempuan di daerah itu dulu hanya jadi pemuas nafsu laki-laki terpandang dan pejabat-pejabat Belanda. Bagi kaum perempuan yang dari kalangan menengah ke bawah lebih miris.Perempuan yang tak dilirik orang terpandang dan pejabat Belanda harus turut turun ke sawah dan ladang menjadi buruh kasar dengan upah yang rendah. Awalnya Rohana memperjuangkan kaum perempuan dengan mengajarkan keterampilan menjahit dan menenun disamping mengajarkan baca tulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Rohana mewadahi perempuan Koto Gadang di Sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) yang ia dirikan atas dukungan suaminya, Abdul Kuddus.
Baginya wanita haruslah cerdas, karena bagaiamana akan melahirkan generasi yang cerdas, jika induknya saja tidak cerdas. Untuk engkau Sang Pahlawan, terimakasih atas jasa-jasamu. Karena kini banyak generasi cerdas yang lahir dari Rahim wanita-wanita cerdas layaknya dirimu.
Karya: Ulfah
comment 0 Comments
more_vert