Di tengah kehidupan
masyarakat yang sangat multikultural seperti Indonesia ini, Masih muncul dan
terus melahirkan sebuah problematika dikotomi keagamaan yang menjadi sumber
konflik dalam kehidupan masyarakat. Seakan pembenaran akan identitas kelompok
masih menjadi legitimasi dan doktrin yang tidak pernah redup. Agama dibenturkan dengan politik dan dijadikan alat legitimasi, Munculnya
konflik sendiri memang dipicu dari adanya perbedaan yang terdapat diantara dua
pihak. Namun, faktor pemicu yang paling mempengaruhi adalah praktik politisasi agama dan
sempitnya pemahaman universalitas keragaman. Politisasi agama adalah politik manipulasi mengenai
pemahaman dan pengetahuan keagamaan/kepercayaan dengan menggunakan cara
propaganda dan indoktrinasi. Sedangkan konflik
horizontal sendiri memiliki arti sebagai konflik yang terjadi antara individu
ataupun kelompok yang mempunyai status sosial sama. Sistem politisasi agama tersebut tentu melahirkan
potensi konflik horizontal yang mengancam kondusifitas kehidupan bermasyarakat
serta mendegradasi substansial suci dari agama.
Politisasi agama juga akan memunculkan sebuah politik
identitas yang menonjolkan isu berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antar
golongan yang kemudian menjalar sampai mengakibatkan konflik horizontal
berkelanjutan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang kaya akan budaya, suku,
dan agama. Kekayaan tersebut dibuktikan dengan kepemilikian lebih dari 300 suku
bangsa dan terdapat lebih dari 200 bahasa daerah. Selain itu Negara kepulauan
ini mengakui 6 agama resmi antara lain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha,
dan Khonghucu. Dari keberagaman dan kekayaan tersebut, Indonesia memiliki julukan nama
sebagai salah satu negara pluralisme dengan berbagai macam agama, budaya, dan
bahasa yang disatukan dengan semboyan bernama “Bhineka Tunggal Ika” atau
memiliki makna berbeda-beda tapi tetapi satu.
Namun,
Kekayaan keberagaman tersebut juga dapat
berpotensi terjadinya konflik horizontal kelompok. Hal
tersebut bisa terjadi tak lain dan tak bukan karena adanya latar belakang serta
sudut pandang berbeda dikarenakan dampak dari praktik politisasi agama, tak heran
adanya ketegangan akan dikotomi keagamaan kerap kali muncul dikarenakan dampak
dari politisasi agama. Indonesia sendiri
memiliki banyak sebuah catatan historis sebuah peristiwa konflik horizontal berbasis agama. Seperti konflik di Poso, Sulawesi Tengah tahun 1998. Saat itu,
tak sedikit masjid dan gereja dibakar. Puncaknya, pada tahun 2000 hingga 2001
konflik agama sudah mengerucut menjadi perang saudara. Tak jauh
berbeda dengan konflik Poso, Konflik Ambon pun memliki kasus yang kurang lebih
sama. Konflik Ambon sendiri terjadi pada tahun 1999 hingga 2002. Politisasi
agama yang menyebabkan konflik horizontal menjadi faktor kerentanan semakin
banyak dan kompleks, dan jika dianalisa, lebih banyak disebabkan oleh elite
pemerintahan dan para pemuka agama serta tokoh masyarakat, namun para elite ini
tidak pernah mengakui kesalahannya, mereka cenderung mempersalahkan oknum
masyarakat.
Upaya untuk
membangun pemahaman dan kesadaran kritis akan isu
politik identitas dan politisasi agama yang seringkali menjadi faktor pemicu
timbulnya konflik horizontal yang diakibatkan oleh gesekan kepentingan baik
internal maupun antar pemeluk agama. Sebuah rencana besar mereka yang ingin
menghasilkan sebuah keuntungan secara materi dan politik dari agama akan
membawa dampak negatif secara signifikan. Agama yang
di dalamnya mengajarkan
hidup damai dan
saling menghormati akan
terjebak dalam tafsir tunggal melalui fatwa-fatwa dan hegemoni keagamaan.
Padahal, agama menyediakan
ruang tafsir yang
sangat fleksibel dengan
syarat setiap
tafsir mampu membawa kemaslahatan
bersama.
comment 0 Comments
more_vert