Ngapain kuliah ? buat apa kuliah ? dapet jaminan apa selama kuliah ? nanti mau
jadi apa setelah kuliah ? apakah surga dapat dibeli dengan kuliah ? apakah
keadilan bisa terpenuhi dengan cara berkuliah ? apakah korupsi bisa lenyap
dengan berkuliah ?. Ini sungguh kondisi yang sangat pelik dimana kampus yang
seharusnya melahirkan generasi-generasi agent perubahan untuk nusa dan
bangsanya tapi malah dikerdilkan oleh mafia-mafia teknokrat yang sedang
berkuasa didalam konstelasi ruang-ruang akademik.
Mahasiswa
mirip dengan kawanan domba yang digiring sesuai dengan keinginan aparat kampus
dan parahnya lagi para mahasiswa sengaja dicetak dan didoktrin sebagai alat
agar siap di distribusikan untuk mengabdikan diri kepada junjungan korporasi.
Secara tidak langsung hal ini jelas mengkooptasi esensi dari kesakralan Tri
Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan ,penelitian, pengabdian) yang
selama ini termanifestasikan sebagai etos akademik dalam menanamkan embrio
perubahan untuk nusa dan bangsa kedepannya.dengan modal awal nilai
akreditasi yang menjadi alat ampuh kampus untuk menjaring calon mahasiswa baru
yang kemudian digiring dan diarahkan sebagai impuls tenaga alat produksi
kapitalisme yang hanya mementingkan akumulasi modal pribadi tanpa membuka kran
kesadaran pikir mahasiswa dalam menganalisis ketimpangan sosial yang terjadi
disekitarnya.
Dalam
antropologi kampus terdiri dari berbagai ekosistem tipologi nalar mahasiswa.
Ada mahasiswa yang perfeksionis, agamis, apatis, hedonis, kupu-kupu(kuliah
pulang-kuliah pulang), kura-kura(kuliah rapat-kuliah rapat),
kunang-kunang(kuliah nangkring-kuliah nangkring). Ini semua tentu bukan seperti
list menu yang layaknya ditawarkan seorang waitress yang
kemudian dinikmati setelah itu menjadi kotoran yang tak berguna. Tidak ada yang
lebih baik dari semua menu itu karena manusia sejatinya makhuk yang heterogen
dimana memiliki kapasitas proporsi ciri khasnya masing-masing dalam menentukan
arah praksisnya. Yang paling fundamen bagaimana esensi fitrah mahasiswa ini
tidak terlepas dari garis orbitnya sebagai pewaris peradaban. sehingga tidak
mudah terjerumus dalam jurang lubang pragmatisme.
Menjadi
cendikiawan intelektual yang dapat berkontribusi dalam membawa ghirah perubahan
adalah harapan penuh oleh seorang aktivis mahasiswa. Maka kampuslah
satu-satunya tempat untuk menggali sedalam mungkin sumber ilmu pengetahuan.
Namun ekspektasi itu berimbas distorsi dimana pendidikan tak berani menjajikan
apa yang telah dicita-citakan dari harapan itu. Faktanya masih terdapat relasi
yang tumpang tindih mulai dari berbagai kebijakan regulasi yang hanya
menguntungkan pihak-pihak kepentingan tertentu saja. Kebebasan mimbar akademik
yang dipolitisasi. Tak hanya sampai disini masih banyak lagi kampus dinegri ini
yang kurang transparan dalam mempublikasi segala instrumen yang dimiliki
kampus. Maka tak jarang kampus malah lebih memilih memprivatisasikan data-data
yang sangat krusial yang sudah seharusnya layak diketahui oleh
mahasiswa. Sebagai mahasiswa yang kritis dan peka terhadap lingkungan
sekitar tentu hal ini membuat geram para aktivis mahasiswa untuk bangkit dan
bergerak menuntut haknya.
Bayangkan
jika kampus hanya berisi peraturan, disiplin dan larangan maka itu hanya
membuat mahasiswa seperti barisan serdadu yang terpetakan dalam detik arloji
untuk selalu takdzim kepada rutinitas keseharian yang tak memiliki nilai esensi
dalam dinamika kehidupan sosial. Kampus mengalami degradasi dari integritas
kesadaran ilmu pengetahuan. Dulu kampus melahirkan cendikiawan pionir militan
yang selalu setia dalam memperjuangkan kemerdekaan indonesia dari genggaman
kolonialisme seperti Ir.Soekarno, Moh. Hatta dan masih banyak lagi. Paradigma
perguruan tinggi hari ini semakin diperkeruh oleh prinsip-prinsip anti
demokrasi yang mendapat legitimasi hukum supremasi negara. Apabila implikasi
kesewenengan ini tidak dikawal dengan baik maka akan menimbulkan bahaya
kontraproduktif yang hanya memperpanjang barisan perbudakan mahsiswa naif.
Sebenarnya
ruang lingkup gerakan aktivis mahasiswa sangat universal tidak haya monoton
berkiprah pada domestik akademik saja melainkan juga menanggung beban agent
of control sebagai ujung tombak masyarakat dalam memperjuangkan
keadilan sepenuhnya. Katanya negara ini menjujung asas demokratis tapi realitas
pada praksisnya masih bayak diselimuti berbagai konflik sosial mulai dari
penggusuran, eksploitasi alam, marginalisasi, kriminalisasi, intimidasi,
represi dan segala bentuk penindasan lainnya yang merugikan masyarakat. Dari
sini lah peran aktivis dituntun untuk bereaksi memberontak dan memperjuangkan
keadilan hak asasi manusia yang selama ini telah dijamin dalam konstitusi
negara.
Dampak
dari globalisasi telah membuat banyak anak muda kehilangan rasa cinta
nasionalisme terhadap bangsanya sendiri. Pengaruh tersebut membawa kita berada
pada sirkulasi bonus demografi yang sangat rentan mengalami konversi kesadaran
kritis seseorang. Tendensi masyarakat lebih mengedepankan budaya western-isasi
dengan berperilaku konsumerisme dari pada merawat budaya lokalnya sendiri.
Memang saat ini tidak bisa dipungkiri perkembangan digitalisasi teknologi
informasi yang mudah diakses dan disebar luaskan tanpa harus memfilterisasi
terlebih dahulu. Sehingga dalam waktu yang sesingkat mungkin masyarakat dengan
mudahnya terhasut opini kearah yang kontradiktif.
Aktivis
bukan gelar yang dapat dibeli dengan sejumplah nominal melainkan aktivis adalah
sebuah gerakan cita-cita mimpi nyata yang berbuah manis dari setiap
tindakan-tindakan progresifitas perubahan yang humanis. Kebesaran itu yang
patut kita rintis mulai sejak dini mungkin agar hidup lebih substansial yang
memiliki makna berarti terhadap kepuasan diri maupun lingkungan tempat dimana
dirinya hidup dan tumbuh subur. Hiduppppppp mahasiswa....!!!!!!
comment 0 Comments
more_vert