MASIGNASUKAv102
6510051498749449419

Transisi Mahasiswa Yang Kian Redup

Transisi Mahasiswa Yang Kian Redup
Add Comments
Sabtu, 24 Juli 2021


   


Dokumentasi: Wendy Keninsberg


Ngapain kuliah ? buat apa kuliah ? dapet jaminan apa selama kuliah ? nanti mau jadi apa setelah kuliah ? apakah surga dapat dibeli dengan kuliah ? apakah keadilan bisa terpenuhi dengan cara berkuliah ? apakah korupsi bisa lenyap dengan berkuliah ?. Ini sungguh kondisi yang sangat pelik dimana kampus yang seharusnya melahirkan generasi-generasi agent perubahan untuk nusa dan bangsanya tapi malah dikerdilkan oleh mafia-mafia teknokrat yang sedang berkuasa didalam konstelasi ruang-ruang akademik.

Mahasiswa mirip dengan kawanan domba yang digiring sesuai dengan keinginan aparat kampus dan parahnya lagi para mahasiswa sengaja dicetak dan didoktrin sebagai alat agar siap di distribusikan untuk mengabdikan diri kepada junjungan korporasi. Secara tidak langsung hal ini jelas mengkooptasi esensi dari kesakralan Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan ,penelitian, pengabdian) yang selama ini termanifestasikan sebagai etos akademik dalam menanamkan embrio perubahan untuk nusa dan bangsa kedepannya.dengan modal awal nilai akreditasi yang menjadi alat ampuh kampus untuk menjaring calon mahasiswa baru yang kemudian digiring dan diarahkan sebagai impuls tenaga alat produksi kapitalisme yang hanya mementingkan akumulasi modal pribadi tanpa membuka kran kesadaran pikir mahasiswa dalam menganalisis ketimpangan sosial yang terjadi disekitarnya.

Dalam antropologi kampus terdiri dari berbagai ekosistem tipologi nalar mahasiswa. Ada mahasiswa yang perfeksionis, agamis, apatis, hedonis, kupu-kupu(kuliah pulang-kuliah pulang), kura-kura(kuliah rapat-kuliah rapat), kunang-kunang(kuliah nangkring-kuliah nangkring). Ini semua tentu bukan seperti list menu yang layaknya ditawarkan seorang waitress yang kemudian dinikmati setelah itu menjadi kotoran yang tak berguna. Tidak ada yang lebih baik dari semua menu itu karena manusia sejatinya makhuk yang heterogen dimana memiliki kapasitas proporsi ciri khasnya masing-masing dalam menentukan arah praksisnya. Yang paling fundamen bagaimana esensi fitrah mahasiswa ini tidak terlepas dari garis orbitnya sebagai pewaris peradaban. sehingga tidak mudah terjerumus dalam jurang lubang pragmatisme.

Menjadi cendikiawan intelektual yang dapat berkontribusi dalam membawa ghirah perubahan adalah harapan penuh oleh seorang aktivis mahasiswa. Maka kampuslah satu-satunya tempat untuk menggali sedalam mungkin sumber ilmu pengetahuan. Namun ekspektasi itu berimbas distorsi dimana pendidikan tak berani menjajikan apa yang telah dicita-citakan dari harapan itu. Faktanya masih terdapat relasi yang tumpang tindih mulai dari berbagai kebijakan regulasi yang hanya menguntungkan pihak-pihak kepentingan tertentu saja. Kebebasan mimbar akademik yang dipolitisasi. Tak hanya sampai disini masih banyak lagi kampus dinegri ini yang kurang transparan dalam mempublikasi segala instrumen yang dimiliki kampus. Maka tak jarang kampus malah lebih memilih memprivatisasikan data-data yang sangat krusial yang sudah seharusnya layak diketahui oleh mahasiswa.  Sebagai mahasiswa yang kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar tentu hal ini membuat geram para aktivis mahasiswa untuk bangkit dan bergerak menuntut haknya.     

Bayangkan jika kampus hanya berisi peraturan, disiplin dan larangan maka itu hanya membuat mahasiswa seperti barisan serdadu yang terpetakan dalam detik arloji untuk selalu takdzim kepada rutinitas keseharian yang tak memiliki nilai esensi dalam dinamika kehidupan sosial. Kampus mengalami degradasi dari integritas kesadaran ilmu pengetahuan. Dulu kampus melahirkan cendikiawan pionir militan yang selalu setia dalam memperjuangkan kemerdekaan indonesia dari genggaman kolonialisme seperti Ir.Soekarno, Moh. Hatta dan masih banyak lagi. Paradigma perguruan tinggi hari ini semakin diperkeruh oleh prinsip-prinsip anti demokrasi yang mendapat legitimasi hukum supremasi negara. Apabila implikasi kesewenengan ini tidak dikawal dengan baik maka akan menimbulkan bahaya kontraproduktif yang hanya memperpanjang barisan perbudakan mahsiswa naif.

Sebenarnya ruang lingkup gerakan aktivis mahasiswa sangat universal tidak haya monoton berkiprah pada domestik akademik saja melainkan juga menanggung beban agent of control sebagai ujung tombak masyarakat dalam memperjuangkan keadilan sepenuhnya. Katanya negara ini menjujung asas demokratis tapi realitas pada praksisnya masih bayak diselimuti berbagai konflik sosial mulai dari penggusuran, eksploitasi alam, marginalisasi, kriminalisasi, intimidasi, represi dan segala bentuk penindasan lainnya yang merugikan masyarakat. Dari sini lah peran aktivis dituntun untuk bereaksi memberontak dan memperjuangkan keadilan hak asasi manusia yang selama ini telah dijamin dalam konstitusi negara.

Dampak dari globalisasi telah membuat banyak anak muda kehilangan rasa cinta nasionalisme terhadap bangsanya sendiri. Pengaruh tersebut membawa kita berada pada sirkulasi bonus demografi yang sangat rentan mengalami konversi kesadaran kritis seseorang. Tendensi masyarakat lebih mengedepankan budaya western-isasi dengan berperilaku konsumerisme dari pada merawat budaya lokalnya sendiri. Memang saat ini tidak bisa dipungkiri perkembangan digitalisasi teknologi informasi yang mudah diakses dan disebar luaskan tanpa harus memfilterisasi terlebih dahulu. Sehingga dalam waktu yang sesingkat mungkin masyarakat dengan mudahnya terhasut opini kearah yang kontradiktif.

Aktivis bukan gelar yang dapat dibeli dengan sejumplah nominal melainkan aktivis adalah sebuah gerakan cita-cita mimpi nyata yang berbuah manis dari setiap tindakan-tindakan progresifitas perubahan yang humanis. Kebesaran itu yang patut kita rintis mulai sejak dini mungkin agar hidup lebih substansial yang memiliki makna berarti terhadap kepuasan diri maupun lingkungan tempat dimana dirinya hidup dan tumbuh subur. Hiduppppppp mahasiswa....!!!!!!    

 

Penulis: Muhammad Ridlwan