Hidup manusia seperti seorang pengembara. Pandangan tersebut ada benarnya, sebab antara keduanya memiliki kemiripan meskipun tidak dapat dikatakan sama persis. Seperti halnya pengembara, perjalanan kehidupan manusia dihiasi berbagai persyaratan jika hidupnya ingin mulus.
Satu dari sekian persyaratan yang harus dilakukan seseorang pengembara adalah menetapkan tujuan. Ia merupakan separuh dari keberhasilan sebuah perjalanan. Menetapkan tujuan adalah separuh dari kesuksesan, separuh lainya adalah pembekalan yang cukup, kesiapan yang matang, kegigihan dan lainya.
Siksaan tak terperi bagi seorang pengembara yang tidak tahu kemana ia akan pergi. Setiap satu langkah kaki selalu saja ada baying-bayang keraguan menghantui. Ragu jika tersesat dijalan, ragu jika tujuanya tidak tercapai, bahkan ragu akan keselamatan diri dari ganguan begal di tengah perjalanan.
Tujuan saja belumlah cukup. Tujuan yang baik harus jelas, tidak samar-samar apalagi kabur. Ia haruslah terang, bak rembulan menyinari kegelapan dimalam hari, dan mentari menyinari bumi di siang hari. Kejelasan tujuan itu merupakan dasar dari keberhasilan, pembuka dari kesuksesan.
Tidak sedikit orang mengira tujuan tersebut adalah harta, ada pula yang mengira kedudukan, sebagian lainya menduga-duga ada di pangkat dan kehormatan. Itulah sebagian mereka bekerja keras, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, banting tulang memburu harta, pangkat, dan kedudukan.
Waktu telah berlalu, tenaga telah terkuras habis. Sayangnya tujuan sesungguhnya tak jua tiba. Pangkat, kedudukan dan harta telah mereka raih, sayangnya hati mereka tetap hampa. Jiwanya tidak bahagia, padahal harta melimpah ruah, jabatan tinggi dan kedudukan terhormat ada di dekatnya.
Dimana tujuan itu? Allah adalah tujuan. Allah tempat kita mengadu, hanya dengan mengejar keridhaan-Nya pula kita akan selamat dari siksa neraka yang pedihnya tak terkira. Karena Allah itu pula, orang orang shalih terdahulu rela mengorbankan harta, tenaga, bahkan jiwa.
Mereka tidak mencari mati, namun jika siksaan datang, mereka tidak pernah mundur. Bagi mereka penderitaan adalah kenikmatan karena mengharap ridha-Nya kelak. Itulah yang harus dimiliki para da’i agar mereka termasuk barisan orang orang yang jujur dan ikhlas.
Karya : Nur Laela Masruroh
comment 0 Comments
more_vert