MASIGNASUKAv102
6510051498749449419

Decepticon Behavior: Eksistensi palsu

Decepticon Behavior: Eksistensi palsu
Add Comments
Jumat, 28 Oktober 2022
sumber foto: Maxmanroe.com

    Memiliki citra diri yang baik, berintegritas, berwawasan, dan cakap adalah keinginan bagi semua orang, untuk meraih itu jalannya adalah belajar bukan menampilkan kebohongan". 

    Berbicara mengenai eksistensi, tentunya kita akan bertanya-tanya siapa sih orang yang tidak mau mendapatkan attention dari orang banyak? apalagi jika kita memiliki citra yang super dimata orang lain, pastilah bangga. Karena lewat hal tersebut, rasa puas dan rasa senang seakan menjadi jawaban atas perjuangan telah kita geluti. Tentunya hal ini sangat berbeda ketika kita hanya menampilkan citra diri palsu namun tidak diimbangi oleh pembelajaran. Kita menampilkan apa yang sama sekali bukan kita dan ini sangatlah merusak. 

    Mungkin banyak dari kita yang masih asing mendengar tentang Decepticon Behavior. Decepticon Behavior adalah sebuah perilaku dimana untuk memperoleh citra diri yang baik, menyenangkan, dan positif, seorang individu memanipulasi serta memalsukan dirinya di media sosial sehingga dapat membuat orang lain percaya (Moningka & Selviana 2020). Individu tersebut dengan sengaja melebih-lebihkan, membuat-buat, menutupi dan menyebabkan sebuah kesalahpahaman dengan menghilangkan atau menyembunyikan segala sesuatu dari kenyataan yang ada (Burgoon & Levine, 2010). 

Citra palsu aktivis 

    Kita bicara apa adanya saja, banyak dari mereka (mahasiswa) yang mengaku aktivis. Mereka menunjukkan citra dirinya lewat bacaan-bacaan kiri, mengaku paling Marxis, menunjukkan dokumentasi orasi-orasinya, dan memotret koleksi buku-buku pergerakannya. Sebenarnya ini sah, asal itu tidak palsu. Tentu saja ini baik, asalkan mereka juga teruji ketika berdiskusi mengenai gagasan-gagasan. Namun ini menjadi kontradiktif ketika citra cerdas, kritis, dan berintelektual tinggi, yang mereka suguhkan tidak sesuai dengan kenyataan.

    Dapat kita tangkap, mereka melindungi kebodohan mereka dengan citra diri fiktif yang mereka punya, yang mereka tampilkan. Tampaknya istilah yang tepat yang wajib mereka semat yakni: degradasi, baik secara akademis (intelektual) maupun organisasi (sosial). Inilah momok yang menjadi kenyataan akhir-akhir ini. Banyak gagasan-gagasan besar yang mereka visualisasikan, namun mereka luput memvisualisasikan nilai mereka secara langsung. 

    Saya sebenarnya mendukung dengan apa yang disebut dengan eksistensi, karena hal tersebut juga sangat penting mengingat musim digital. Namun saya juga merasa tidak sepakat ketika hal tersebut tidak sesuai dengan realitas yang mereka jalani. Karena pada dasarnya bukanlah gagasan-gagasan besar yang berbusa-busa, bukan kritik-kritik pedas yang menyasar ke semua orang, namun langkah kongkret kecil yang selalu berjalan dan diimplementasikan. 



Referensi: 
Burgoon, J. K., & Levine, T. R. (2010). Advances in deception detection. New Directions in Interpersonal Communication Research, May 2016, 201–220. https://doi.org/10.4135/9781483349619.n10 

Moningka, C., Selviana, M. (2020). Pengembangan Skala Deception Behavior in Social Media the Development of Deception Behavior in Social Media. https://doi.org/10.24854/jpu143


Luthfi Abdul Hadi

  1. Wau.wau.wau. kasih Jean Paul Sarter kalau baca tulisan ini. Ia susah payah bangun teori eksitensi. Akhirnya berakhir palsu (absurd). Penulisnya harus mimik kopi. Supaya bisa membedakan mana yang eksis, eksitensi, dan eksitensial.

    BalasHapus